Minggu, 05 November 2017

MAKNA AWAYDAYS

MAKNA AWAYDAYS


Bagi suporter, kandang lawan adalah tempat untuk mengukur diri. Terlalu lama mengurung diri dan tidak menyapa dunia luar, terkadang membuat jemawa atau malah minder. Banyak hal yang tidak kita ketahui sehingga sulit untuk mengukur diri.

Hal yang sama juga terjadi di dunia suporter. Mendukung tim untuk partai tandang, atau yang biasa dikenal sebagai away days, menjadi ujian loyalitas. Karena seringkali keputusan untuk berangkat ke kandang lawan tidak selalu tentang ketersediaan uang, tetapi juga niat.

Justru hal tersebut sering dilakukan oleh para militan yang punya kantong tidak terlalu tebal. Saya pernah menyaksikan sendiri kelompok suporter Persebaya saat datang ke Bandung. Mereka datang ke kota lain bahkan beberapa hari sebelum pertandingan.

Hal ini untuk menyiasati perjalanan yang tidak dapat ditentukan estimasi waktunya. Maklum mereka menumpang truk dan mobil terbuka, mencegat sembari meminta tumpangan mobil mana saja yang mau mengangkut. Waktu perjalanan dengan sendirinya tak bisa ditakar.

Sayangnya kondisi geografis dan infrastruktur Indonesia tidak mendukung seorang suporter berkeliling ke semua stadion dalam satu kompetisi penuh. Tim beserta official saja terkadang masih keteteran, apalagi suporter. Meskipun ada yang bisa mengikuti semua laga tandang kesebelasan kesayangannya, barangkali jumlahnya pun sedikit, bersifat perorangan, dan tidak dikoordinir secara masif.

Berbeda dengan apa yang sering kita lihat di layar kaca. Bagaimana hampir setiap pertandingan Liga Inggris terdapat tribun yang memang disediakan untuk pendukung tim tamu. Sulit untuk berharap hal itu dapat diterapkan di sini. Selain alasan geografis dan infrastruktur di atas, tetapi juga masalah lain, seperti izin kepolisian, rivalitas dan lain sebagainya.

Dalam setiap kesempatan tandang, seorang suporter akan bertemu satu sama lain. Jeda waktu yang panjang membuat tandang menjadi momen spesial. Tidak jarang juga menjadi ajang silaturahmi antar suporter.



Bagi tim, rilis jadwal yang dikeluarkan federasi akan direspon dengan perencanaan strategi, atau mungkin persiapan teknis perjalanan. Meski beberapa kali juga dibuat pusing dengan pergantian jadwal pada tengah kompetisi.

Tidak demikian untuk suporter, keluarnya jadwal adalah perencanaan perjalanan sepakbola. Tidak jarang yang punya rencana khusus, hingga menabung hanya demi pergi ke stadion tujuan. Prinsipnya adalah setiap stadion selalu mempunyai kenangan yang berbeda.

Terkadang kenangan tersebut tidak melulu soal kalah atau menang tetapi lebih dari itu. Kota Istanbul bagi pendukung Liverpool misalnya. Pengalaman disana saat final Liga Champions 2005 bisa menjadi momen yang tak terlupakan. Kopites di seluruh dunia tentu ingin berada disana saat itu.

Silaturahmi dan Sepakbola

Istilah away days kerap digunakan untuk praktik mendukung kesebelasan kesayangan di kandang lawan. Istilah away days, cukup jelas, diambil dari bahasa Inggris, juga ditakik dari kebiasaan suporter di Inggris. Tapi salah besar jika mengira bahwa praktik mendukung kesebelasan kesayangan di kota lain sebagai peniruan mentah-mentah dari tradisi sepakbola Eropa.

Arsip dan dokumentasi sepakbola yang dikumpulkan oleh Pandit Football Indonesia pernah mendapatkan laporan surat kabar dari tahun 1938 yang menggambarkan bagaimana suporter pergi ke luar kota mendukung kesebelasan kesayangannya.

Dalam salah satu dokumentasi yang kami temukan, para pendukung Persib Bandung saat itu akan pergi ke Surabaya menyaksikan kesebelasan kesayangannya bertanding. Masalah muncul saat para pendukung Persis Solo mengancam akan mencegat pendukung Persib jika lewat Solo dengan kereta api. Maklum, setahun sebelumnya, Persib mengalahkan Persis di Stadion Sriwedari di final Kejurnas PSSI.

Para pendukung PSIM masa itu juga rutin pergi ke Solo saat kesebelasan kesayangannya itu bertanding dengan Persis Solo. Begitu juga sebaliknya. Dalam laga yang kini bertajuk “Derby Mataram” itu masing-masing pendukung pergi dengan menaiki kereta api dan kembali juga dengan kereta api.

Pada dekade 1980an, tepatnya pada Babak 8 Besar Divisi Utama Perserikatan musim 1986/1987, muncul istilah tret-tet-tet dari Surabaya. Istilah itu merujuk praktik mendukung Persebaya di Senayan, dengan menggunakan kereta api, bus, bahkan pada satu waktu pernah menggunakan kapal perang.

Didukung oleh Jawa Pos, harian terbesar di Jawa Timur, tentu saja berkat sokongan Dahlan Iskan yang saat itu masih memimpin harian tersebut, tret-tet-tet mulai menjadi modus para para pendukung Persebaya untuk mendukung kesebelasan kesayangannya. Istilah tret-tet-tet sendiri kira-kira diambil dari bunyi terompet yang ditiup bersahut-sahutan – sejenis onomatope.


(Foto: ANTARA/Rosa Panggabean)

Tak ketinggalan tentu saja berbagai atribut yang mencirikan rombongan suporter dari Surabaya ini: dari mulai topi, kaos, hingga bendera yang tentu saja disertai oleh ikon wong mangap yang hingga kini masih menjadi simbol para bonek, sebutan untuk para suporter Persebaya.

“Babak 8 Besar” (pernah juga “6 Besar”) era Perserikatan memang menjadi ajang besar bagi sepakbola Indonesia. Di momen itulah, berbagai suporter dari berbagai kota berangkat ke Jakarta, mendukung kesebelasan kesayangannya. Selain Surabaya, suporter dari Medan, Semarang, Makasar dan Bandung menjadi “pelanggan” rutin ajang ini.

Bagi para suporter PSMS Medan atau PSM Ujungpandang, misalnya, pergi ke Jakarta selalu menjadi cerita panjang yang lebih dari sekadar nonton bola. Tidak banyak yang sanggup membayar tiket pesawat, sehingga pergi dengan kapal laut menjadi pilihan yang masuk akal, dan memungkinkan mereka bisa berangkat berbondong-bondong bersama rekan-rekannya.

Sebelum berangkat, mereka bisa mengirim telegram atau surat kepada kerabat atau rekan-rekannya yang sudah menetap dan merantau di Jawa. Para kerabat atau rekan itu kemudian menjemput di Tanjung Priuk, dibawa ke kediaman kerabat atau kenalan itu untuk istirahat, sebelum kemudian pergi ke Senayan saat kesebelasan kesayangannya dapat giliran bertanding.

Istilah away days tak pernah memadai untuk menggambarkan fenomena khas sepakbola Indonesia masa itu. Pertama, karena itu tak dilakukan hanya sehari dua hari. Kedua, karena saat itu urusannya memang tak hanya sepakbola.

Mereka tidak sehari dua hari di Jakarta, karena perjalanan laut pun bahkan sudah selama itu. Jika mereka berangkat di awal babak 8 Besar, mereka bisa bertahan sampai dua hingga 3 pekan jika kesebelasan kesayangannya lolos hingga partai puncak. Selama berpekan-pekan itu, urusan tentu saja tak hanya sepakbola. Tapi juga berkumpul dengan kerabat, saudara, rekan-rekan, teman lama, atau bahkan sambil mencari kerja.

Inilah yang membuat, misalnya, Herru Joko pernah menolak keras larangan tandang bagi para bobotoh, sebutan untuk para pendukung Persib. Argumentasi yang digunakan Herru, Ketua Viking, jika Bobotoh tak boleh tandang maka kemungkinan bersilaturahmi dan bertemu dengan sesama orang Sunda di perantauan jadi tidak ada lagi.

Herru memberikan contoh: jika Persib bertanding di Papua, itu jadi momen di mana para orang Sunda di Jayapura dan sekitarnya bisa saling bertemu dan berkumpul di Stadion Mandala. Jika mereka tak boleh datang, momentum berserawung dan memperat tali persaudaraan itu jadi hilang.

Pertukaran Kebiasaan

Suporter Indonesia pada era awal 2000-an mempunyai ciri khusus yang mungkin juga banyak anda ketahui. Yaitu hampir semuanya memiliki lagu yang bernada sama. Fenomena ini bahkan masih ada hingga sekarang. Hal ini tak lepas dari away days yang dilakukan oleh para suporter.

Polanya adalah jika ada suporter tamu yang datang, dan menyanyikan lagu menarik. Maka pertandingan selanjutnya dipastikan bahwa lagu tersebut akan dinyanyikan oleh suporter tuan rumah. Hanya nama klub atau suporter yang diganti.

Pernah mendengar lagu "yooo ayooo, ayooo ............, kuingin kita harus menang.."? Lagu ini bahkan pernah ada di hampir seluruh stadion Indonesia. Termasuk lagu wajib saat timnas kita sedang bertanding. Konon lagu tersebut berasal dari salah satu pemain Arema, yang memberikan kumpulan chants suporter kepada Aremania pada era 90-an.



Saat siaran langsung televisi mulai banyak, bahkan menjangkau Papua yang dulu jarang disiarkan. Dari situ juga terlihat, bahwa beberapa suporter di stadion luar Jawa masih memakai lagu “stok lama”. Wajar memang karena kebanyakan away days lebih banyak dilakukan di pulau Jawa, terkait karena mudahnya akses dari stadion ke stadion lain, juga dana yang lebih murah ketimbang ke luar pulau.

Kesempatan tandang ke markas lawan memang dapat menjadi ajang bagi suporter untuk belajar. Sayangnya jika kita hanya berkeliling Indonesia, rasanya tidak akan jauh berbeda. 

Lain cerita jika menyebrang jauh ke negeri orang. Sepengetahuan saya pertandingan tandang yang dihadiri banyak suporter kita berangkat langsung dari Indonesia, hanya di Malaysia saat Piala AFF 2010 dan 2012.

Piala AFC misalnya, bisa menjadi kesempatan bagi suporter kita untuk mempelajari apa yang diperlihatkan para suporter tim tamu dari luar negeri.
Pada tahun 2007, saya pergi ke Solo untuk mendukung kesebelasan yang saya dukung, Persik Kediri, bertanding di AFC Champions League di Stadion Manahan kala itu. Ini menjadi salah pengalaman yang menyenangkan bagi saya. Urawa Reds yang bertanding melawan Persik didampingi oleh suporternya yang terbang langsung dari Jepang.

Untuk pertama kalinya saya melihat suporter menyamakan nada sebelum bertanding layaknya sebuah paduan suara. Entah pada saat itu sedang bercanda atau memang menjadi ritual wajib mereka, yang jelas puluhan suporter tersebut suaranya menyamai ribuan suporter tuan rumah.

Sulit dipercaya memang, tetapi pilihan lagu mereka saat itu juga bernada menghentak. Memungkinkan bersuara dalam satu nada dan terdengar sangat kencang. Peralatan yang dibawa juga sangat ramah untuk seseorang yang terbang ribuan kilometer. Bendera dan spanduk dari kain tipis hingga tongkat bendera dan set drum yang bisa dilipat.

Kekerabatan di Tribun

Away days bisa menjadi piknik yang memperat antar suporter. Menjemput suporter tamu di perbatasan daerah seringkali dilakukan hingga di depan pintu gerbang stadion. Hal yang sama saat pulang pasca-pertandingan.

Di dalam stadion kedua suporter saling lempar nyanyian. Beberapa juga melakukan ritual tukar atribut dan keliling bersama stadion saat jeda pertandingan. Tidak jarang ada yang bertukar kontak lawan jenis, mencari kesempatan dalam keriuhan.

Kondisi di atas hanya dapat terjadi pada dua kubu suporter yang mempunyai hubungan baik. Rivalitas yang berujung kerusuhan memang masih terjadi di kompetisi Indonesia. Wajar memang karena hampir di seluruh liga dunia, rivalitas seperti itu memang selalu ada.

Rivalitas yang ada juga terkadang membuat perjalanan para suporter menjadi terganggu. Suporter harus waspada saat berada di jalur tertentu ketika berada dalam bis atau kereta api. Dua roda transportasi primadona hampir seluruh suporter Indonesia. Beberapa juga nekat naik ke atap gerbong saat kereta sudah penuh sesak.

Bahkan ada sebutan “jalur Gaza” di kalangan suporter, untuk menamai tempat daerah rival mereka. Karena setiap melewati jalur tersebut tak jarang terjadi kerusuhan. Mulai dari lemparan – lemparan hingga bentrok fisik.

Perbaikan sarana dan prasana memang diharapkan mampu meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan saat away days. Jaminan keamanan yang memadai, transportasi yang baik, hingga akses stadion yang nyaman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar