Minggu, 05 November 2017

ARTI ULTRAS

ARTI ULTRAS


Ultras diambil dari bahasa latin yang mengandung artian 'di luar kebiasaan'. Kalangan ultras tidak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel lagu kebangsaan tim mereka selama pertandingan berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang pertandingan berlangsung (karena negara-negara yang terkenal dengan ultras nya seperti Argentina dan Italia, menyediakan tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion.


“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more acutely than everybody else “.


Nukilan kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung.


Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’ yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia ‘Tartan Army’


Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.


Dalam tradisi calcio, ultras adalah “baron” dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.


Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.


Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil “melestarikan” paham-paham tua seperti facism, dankomunism socialism


Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun paratifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.


Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya digubah dari lagu–lagu komunis tradisional - lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi!


Bentrok dengan polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi. Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.


Tak hanya polisi, manajemen klub, staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya (terutama dalam pertandingan tandang), memaksa klub untuk memberi jatah tiket gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di kandang.


Namun sebenarnya ultras tidak seseram yang dibayangkan. Bahkan dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris. Karena sebenarnya ultras menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada yg suka nyari masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi politik. memang ada yang kanan, kiri, merah, dsb...Tapi yang tidak bermain politik juga ada.


Pelatih atau manajer yang mundur (bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari tekanan ultras. Dari pihak pemain, Christian “Bobo” Vieri pernah mengalami teror fisik dari ultrasInter, termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada tim.


Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio. Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.



Suporter Indonesia Rasa Ultras

Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya dukung dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan berwarna.


Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di kemudian hari, terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras!


Kentalnya budaya ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari atraksi kelompok suporter kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi tribun tertentu meski tidak selalu di belakang gawang. Namun yang konsisten di sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Utras Persija,Orange Street Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan Brajamusti (PSIM Jogjakarta), sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun tengah menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras yang dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya... Saat supporter berdiri 90 menit dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2 cacian kepada suatu kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga merupakan bagian dari nilai2 ultras... saat anda melakukan koreografi2 memukau, itu bagian dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur dengan supporter , itu juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras tidak akan menyerang jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan menolong jika tidak diperlukan


Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur dengan budaya kita sendiri... terkadang beberapa komunitas di dalam suporter Persija juga menggunakan istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka dengan bangganya berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu pemahaman akan arti ultras oleh mereka...(narsisme)… Di Luar Negri (Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID Card atau bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka sangat paham arti kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan Partai.. Bagi saya AGAMA bisa dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI SEORANG manusia hanya bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya maka disebut Musyrik Bahkan KAFIR...Team Sepakbola yang saya dukung Bisa didukung oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA MEMILIH SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA...Tetapi jika mendukung lebih dari satu team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan bisa dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU JAKARTA SATU (PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub tak harus wadah tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka (kelompok suporter) melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte notaris segala. Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi dimanfaatkan elit politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania dan Beladas, di Persiba ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati dan JETMEN,dll


Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat, terlalu rapi. Kalo diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas ataupun kelompok. Kalo disini, kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki AD/ART. Parahnya masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan suporter dengan nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang merupakan organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua suporter Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua klub punya julukan bagi suporter mereka.


Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi seorang CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang berpendapat seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia "hanya" memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau nord di Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang indah..


Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan spanduk yang di pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada suporter Indonesia. Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis prestasi Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak bola Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah kepemimpinan Yang "Terhormat" Nurdin Halid!


Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain, kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.


Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh hari dalam seminggu.


Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.


Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.


Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.


Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh, disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).


Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!


Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini sangat sering disebut oleh media2 di tanah air seiring dengan banyaknya tindakkan hooliganisme yang dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia. Sangat lucu sekali membaca beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa ultras memiliki arti 'garis keras' yang selalu di indentikkan dengan hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis, mereka hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus benar2 mengerti dan benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.


Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata 'ultras' sendiri. Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan kata hooligan yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri berasal dari suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan dalam kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti 'yang ter-'. 'yang paling'. 'melebihi yang lain', atau 'lebih dari biasa'. Bila dihubungkan dengan konteks supporter bisa dikatakan bahwa ultras berarti kelompok supporter yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri adalah istilah yang berarti 'perusuh' atau 'suka berbuat onar'.


Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras


sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras, Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau mereka tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter (termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama kelompok mereka.


Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan Hooligans adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Hampir semua hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah hooligans..!!


HOOLIGANS adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.

Diantara Supporter Persija ada juga yang memang lahir dari komunitas hardmods, bootbois, skinhead, rudeboys, casuals, dll.. dan membentuk suatu kelompok yang disebut Persija FIRM (Tiger Boys) seperti di Inggris, namun disisi lain mereka membakar flare dan membuat syal komunitas, ya mungkin itu kreatifitas mereka, karena mengikuti suatu kultur, lagipula tidak berarti harus mengikuti semua pakem bakunya. (berbagai sumber)


ARTI HOOLIGANS

ARTI HOOLIGANS


HOOLIGAN memiliki arti yaitu fans bola yang brutal ketika tim bolanya kalah bertanding. HOOLIGAN merupakan stereotip sepakbola dari INGGRIS, tapi kemudian menjadi fenomena global, sebagian besar dari HOOLIGAN adalah para backpacker yang telah berpengalaman dalam bepergian mereka sering menonton pertandinganyang beresiko besar banyak dari mereka sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik untuk mengantisipasi adanya kerusuhan,,gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan untuk berkelahi mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim mereka dan memilih pakaian asal-asalan agar tak dideteksi oleh polisi meski demikian, mereka tidak menggunakan senjata...para HOOLIGAN biasanya tidak duduk dalam satu tempat bersama-sama dalam stadion tapi mereka berpencar-pencar.
Berikut Ini Hooligan Inggris Yang Paling Berbahaya .
1. Millwall Bushwackers
Mereka adalah supporter fanatik klub sepakbola Millwal. Nama Bushwackers mereka ambil dari "plesetan" nama penyerbuan ketika perang saudara di Amerika. Dan nggak ada yang mau cari gara-gara dengan Hooligan satu ini. Mereka bahkan punya senjata khusus yang dirancang sendiri untuk menyerang supporter lawan, mereka menyebutnya dengan "The Millwal Brick".
Pada puncak kegiatan mereka di 1980-an, Bushwackers kerap membuat ulah serius selama pertandingan, dan bertanggung jawab atas beberapa kerusuhan terburuk dalam sepakbola Inggris. Dan mereka bangga dengan kelakuannya itu.
Walaupun setelah itu mereka tidak "segarang" sebelumnya, namun 2 supporter Wolverhampton tewas dibuatnya. Ditusuk oleh Pisau Stanley. Sementara di tahun 2002 lebih banyak lagi pertumpahan darah ketika malam pertandingan play off versus Birmingham City. Polisi menggambarkan kejadian malam itu sebagai kekerasan terburuk dan menjadi reputasi Bushwackers yang tidak akan tertandingi.
2. Birmingham Zulus
Kembali ke tahun 70-an, teriakan "Zulu, Zulu!" dijalanan Birmingham hanya memiliki arti ; Ksatria Zulu, Birmingham City yang terbaik dan provokasi untuk menantang bertempur.
Dikenal karena anggotanya yang berasal dari berbagai latar belakang etnis, Hooligan satu ini adalah salah satu yang paling ditakuti era 80-an - dan mereka tetap penyebab utama kerusuhan. Bentrokan kekerasan seringkali terjadi dengan pendukung klub rival Aston Villa pada hari derby, dan Zulu yang dikenal keras mempertahankan wilayah mereka dari serangan Hooligan lain.
Di antara sekian banyak insiden yang dipicu oleh Ksatria Zulu ini adalah serangkaian kerusuhan di Cardiff pada tahun 2001 yang menyebabkan satu Pub hancur, satu orang diserang dan sembilan lagi dibawa ke rumah sakit.
Kemudian pada tahun 2006, sekitar 200 fans Birmingham merobohkan pagar yang memisahkan mereka dari fans Stoke setelah pertandingan Piala FA, perang pun pecah, dan polisi tidak luput dari serangan Zulu. Seorang perwira senior menggambarkan kerusuhan ini sebagai "kekerasan ekstrim".
3. Aston Villa Hardcore
Hooligan terkenal lainnya yang berbasis di Birmingham adalah Aston Villa Hardcore. Berafiliasi dengan klub Aston Villa atau dikenal sebagai The Villains. Dan reputasi mereka juga tidak kalah sengitnya dibanding rival sekotanya.
Pada "Pertempuran Rocky Lane" pada tahun 2002 menyebabkan beberapa gangguan serius di daerah Aston setelah pertandingan antara Villa dan Birmingham City yang menyebabkan penangkapan 15 orang Hooligan.
Kemudian pada tahun 2005, anggota Hooligan, Steven Fowler, yang telah dipenjarakan selama enam bulan dalam perang tahun 2002, harus kembali mendekam di penjara untuk 12 bulan kemudian karena terlibat dalam serangan terorganisir antara Hardcore Villa dan headhunter Chelsea di King's London's Cross tahun 2004.
Juga pada tahun 2004, beberapa Hooligan Villa terlibat dalam pertempuran dengan fans Quens Park Ranger di luar Villa Park di mana seorang pramugara meninggal ketika menyeberang jalan.
4. Inter City Firm
Sekelompok hooligan yang aktif dari tahun 1970an sampai tahun 1990, yang mereka menamainya dengan Inter City Firm (ICF). Supporter fanatik dari klub London, West Ham United.
Dinamakan Inter City sesuai dengan nama kereta yang mereka pakai untuk menyaksikan pertandingan away. Inter City Firm mempunyai kebiasaan unik dimana mereka meninggalkan kartu di tubuh lawan yang mereka serang dengan tulisan yang tertera: "Selamat, Anda baru saja bertemu dengan ICF."
Meskipun sama-sama menyukai kekerasan, Cass Pennant, seorang yang berpengaruh di ICF menyatakan ICF berbeda dengan Hooligan lainnya yang umumnya mereka rasis dan berhaluan Neo-Nazi. Namun tetap saja mereka bukanlah teman-teman yang baik.
Banyak contoh ekstrim perilaku kekerasan mereka telah didokumentasikan, bentrokan sering terjadi dengan Hooligan saingannya Bushwackers Millwall.
5. 6.57 Crew
Dihubungkan dengan tim Liga Utama Inggris Portsmouth FC, dan dinamai berdasarkan waktu kereta yang membawa mereka ke Stasiun Waterloo London pada hari Sabtu yaitu pukul 06:57. 6,57 Crew adalah salah satu kumpulan Hooligan terbesar selama tahun 1980-an, dan telah menyebabkan kekacauan di seluruh negeri.
Pada tahun 2001, mereka bertempur dengan fans Coventry City di kandang Conventry, merobek kursi dan melemparkan "molotov" ke lawan mereka.
Pada tahun 2004, 93 anggota mereka ditangkap - termasuk anak 10 tahun yang menjadi Hooligan termuda dalam sejarah Hooliganisme Inggris - mereka berulah dan memulai kerusuhan massa sebelum dan setelah pertandingan melawan saingan Southampton, di mana polisi diserang dan toko-toko dijarah.
Lebih dari seratus hooligan Portsmouth dilarang bepergian ke Piala Dunia 2006 di Jerman karena dinyatakan bersalah atas kejahatan yang berhubungan dengan sepak bola.
6. The Red Army
Manchester United adalah salah satu klub sepakbola terbesar dengan permainan yang indah, sehingga supporter fanatik mereka, The Red Army, dapat dikatakan memiliki jumlah terbesar dengan tingkat Hooliganisme tinggi di Britania.
Sementara nama The Red Army juga digunakan untuk merujuk kepada fans Man U pada umumnya, pada pertengahan 70-an nama itu menjadi identik dengan beberapa insiden menentukan dalam hooliganisme Inggris.
Bentrokan massal terekam pada tahun 1985. Kala itu The Red Army berseteru dengan Hooligan West Ham disekitaran kota Manchester.
7. Chelsea Headhunters
Dihubungkan dengan Klub kota London, Chelsea, Headhunters merupakan klub Hooligan rasis yang juga kadang di kaitkan dengan Front Nasional dan Paramiliter Combat 18.
Pada 1999, headhunter telah disusupi oleh seorang reporter BBC yang menyamar sebagai anggota tapi punya tato singa yang salah (Fans berat Chelsea pasti tau Logo Singa Chelsea) - kesalahan berisiko yang membuat geram para Headhunters.
Mantan pimpinan Headhunters, Kevin Whitton, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tahun 1985 setelah melakukan suatu serangan yang dianggap sebagai salah satu insiden hooliganisme sepak bola terburuk yang pernah ada di Inggris. Ketika itu Chelsea mengalami kekalahan, Whitton dan lainnya masuk ke sebuah Bar sambil berteriak, "Perang, perang, perang!!". Beberapa menit kemudian manager bar yang berasal dari Amerika tersungkur sekarat dan seorang Hooligan berteriak kepadanya, "Kalian orang Amerika datang ke sini dan mengambil pekerjaan kami!"

MAKNA AWAYDAYS

MAKNA AWAYDAYS


Bagi suporter, kandang lawan adalah tempat untuk mengukur diri. Terlalu lama mengurung diri dan tidak menyapa dunia luar, terkadang membuat jemawa atau malah minder. Banyak hal yang tidak kita ketahui sehingga sulit untuk mengukur diri.

Hal yang sama juga terjadi di dunia suporter. Mendukung tim untuk partai tandang, atau yang biasa dikenal sebagai away days, menjadi ujian loyalitas. Karena seringkali keputusan untuk berangkat ke kandang lawan tidak selalu tentang ketersediaan uang, tetapi juga niat.

Justru hal tersebut sering dilakukan oleh para militan yang punya kantong tidak terlalu tebal. Saya pernah menyaksikan sendiri kelompok suporter Persebaya saat datang ke Bandung. Mereka datang ke kota lain bahkan beberapa hari sebelum pertandingan.

Hal ini untuk menyiasati perjalanan yang tidak dapat ditentukan estimasi waktunya. Maklum mereka menumpang truk dan mobil terbuka, mencegat sembari meminta tumpangan mobil mana saja yang mau mengangkut. Waktu perjalanan dengan sendirinya tak bisa ditakar.

Sayangnya kondisi geografis dan infrastruktur Indonesia tidak mendukung seorang suporter berkeliling ke semua stadion dalam satu kompetisi penuh. Tim beserta official saja terkadang masih keteteran, apalagi suporter. Meskipun ada yang bisa mengikuti semua laga tandang kesebelasan kesayangannya, barangkali jumlahnya pun sedikit, bersifat perorangan, dan tidak dikoordinir secara masif.

Berbeda dengan apa yang sering kita lihat di layar kaca. Bagaimana hampir setiap pertandingan Liga Inggris terdapat tribun yang memang disediakan untuk pendukung tim tamu. Sulit untuk berharap hal itu dapat diterapkan di sini. Selain alasan geografis dan infrastruktur di atas, tetapi juga masalah lain, seperti izin kepolisian, rivalitas dan lain sebagainya.

Dalam setiap kesempatan tandang, seorang suporter akan bertemu satu sama lain. Jeda waktu yang panjang membuat tandang menjadi momen spesial. Tidak jarang juga menjadi ajang silaturahmi antar suporter.



Bagi tim, rilis jadwal yang dikeluarkan federasi akan direspon dengan perencanaan strategi, atau mungkin persiapan teknis perjalanan. Meski beberapa kali juga dibuat pusing dengan pergantian jadwal pada tengah kompetisi.

Tidak demikian untuk suporter, keluarnya jadwal adalah perencanaan perjalanan sepakbola. Tidak jarang yang punya rencana khusus, hingga menabung hanya demi pergi ke stadion tujuan. Prinsipnya adalah setiap stadion selalu mempunyai kenangan yang berbeda.

Terkadang kenangan tersebut tidak melulu soal kalah atau menang tetapi lebih dari itu. Kota Istanbul bagi pendukung Liverpool misalnya. Pengalaman disana saat final Liga Champions 2005 bisa menjadi momen yang tak terlupakan. Kopites di seluruh dunia tentu ingin berada disana saat itu.

Silaturahmi dan Sepakbola

Istilah away days kerap digunakan untuk praktik mendukung kesebelasan kesayangan di kandang lawan. Istilah away days, cukup jelas, diambil dari bahasa Inggris, juga ditakik dari kebiasaan suporter di Inggris. Tapi salah besar jika mengira bahwa praktik mendukung kesebelasan kesayangan di kota lain sebagai peniruan mentah-mentah dari tradisi sepakbola Eropa.

Arsip dan dokumentasi sepakbola yang dikumpulkan oleh Pandit Football Indonesia pernah mendapatkan laporan surat kabar dari tahun 1938 yang menggambarkan bagaimana suporter pergi ke luar kota mendukung kesebelasan kesayangannya.

Dalam salah satu dokumentasi yang kami temukan, para pendukung Persib Bandung saat itu akan pergi ke Surabaya menyaksikan kesebelasan kesayangannya bertanding. Masalah muncul saat para pendukung Persis Solo mengancam akan mencegat pendukung Persib jika lewat Solo dengan kereta api. Maklum, setahun sebelumnya, Persib mengalahkan Persis di Stadion Sriwedari di final Kejurnas PSSI.

Para pendukung PSIM masa itu juga rutin pergi ke Solo saat kesebelasan kesayangannya itu bertanding dengan Persis Solo. Begitu juga sebaliknya. Dalam laga yang kini bertajuk “Derby Mataram” itu masing-masing pendukung pergi dengan menaiki kereta api dan kembali juga dengan kereta api.

Pada dekade 1980an, tepatnya pada Babak 8 Besar Divisi Utama Perserikatan musim 1986/1987, muncul istilah tret-tet-tet dari Surabaya. Istilah itu merujuk praktik mendukung Persebaya di Senayan, dengan menggunakan kereta api, bus, bahkan pada satu waktu pernah menggunakan kapal perang.

Didukung oleh Jawa Pos, harian terbesar di Jawa Timur, tentu saja berkat sokongan Dahlan Iskan yang saat itu masih memimpin harian tersebut, tret-tet-tet mulai menjadi modus para para pendukung Persebaya untuk mendukung kesebelasan kesayangannya. Istilah tret-tet-tet sendiri kira-kira diambil dari bunyi terompet yang ditiup bersahut-sahutan – sejenis onomatope.


(Foto: ANTARA/Rosa Panggabean)

Tak ketinggalan tentu saja berbagai atribut yang mencirikan rombongan suporter dari Surabaya ini: dari mulai topi, kaos, hingga bendera yang tentu saja disertai oleh ikon wong mangap yang hingga kini masih menjadi simbol para bonek, sebutan untuk para suporter Persebaya.

“Babak 8 Besar” (pernah juga “6 Besar”) era Perserikatan memang menjadi ajang besar bagi sepakbola Indonesia. Di momen itulah, berbagai suporter dari berbagai kota berangkat ke Jakarta, mendukung kesebelasan kesayangannya. Selain Surabaya, suporter dari Medan, Semarang, Makasar dan Bandung menjadi “pelanggan” rutin ajang ini.

Bagi para suporter PSMS Medan atau PSM Ujungpandang, misalnya, pergi ke Jakarta selalu menjadi cerita panjang yang lebih dari sekadar nonton bola. Tidak banyak yang sanggup membayar tiket pesawat, sehingga pergi dengan kapal laut menjadi pilihan yang masuk akal, dan memungkinkan mereka bisa berangkat berbondong-bondong bersama rekan-rekannya.

Sebelum berangkat, mereka bisa mengirim telegram atau surat kepada kerabat atau rekan-rekannya yang sudah menetap dan merantau di Jawa. Para kerabat atau rekan itu kemudian menjemput di Tanjung Priuk, dibawa ke kediaman kerabat atau kenalan itu untuk istirahat, sebelum kemudian pergi ke Senayan saat kesebelasan kesayangannya dapat giliran bertanding.

Istilah away days tak pernah memadai untuk menggambarkan fenomena khas sepakbola Indonesia masa itu. Pertama, karena itu tak dilakukan hanya sehari dua hari. Kedua, karena saat itu urusannya memang tak hanya sepakbola.

Mereka tidak sehari dua hari di Jakarta, karena perjalanan laut pun bahkan sudah selama itu. Jika mereka berangkat di awal babak 8 Besar, mereka bisa bertahan sampai dua hingga 3 pekan jika kesebelasan kesayangannya lolos hingga partai puncak. Selama berpekan-pekan itu, urusan tentu saja tak hanya sepakbola. Tapi juga berkumpul dengan kerabat, saudara, rekan-rekan, teman lama, atau bahkan sambil mencari kerja.

Inilah yang membuat, misalnya, Herru Joko pernah menolak keras larangan tandang bagi para bobotoh, sebutan untuk para pendukung Persib. Argumentasi yang digunakan Herru, Ketua Viking, jika Bobotoh tak boleh tandang maka kemungkinan bersilaturahmi dan bertemu dengan sesama orang Sunda di perantauan jadi tidak ada lagi.

Herru memberikan contoh: jika Persib bertanding di Papua, itu jadi momen di mana para orang Sunda di Jayapura dan sekitarnya bisa saling bertemu dan berkumpul di Stadion Mandala. Jika mereka tak boleh datang, momentum berserawung dan memperat tali persaudaraan itu jadi hilang.

Pertukaran Kebiasaan

Suporter Indonesia pada era awal 2000-an mempunyai ciri khusus yang mungkin juga banyak anda ketahui. Yaitu hampir semuanya memiliki lagu yang bernada sama. Fenomena ini bahkan masih ada hingga sekarang. Hal ini tak lepas dari away days yang dilakukan oleh para suporter.

Polanya adalah jika ada suporter tamu yang datang, dan menyanyikan lagu menarik. Maka pertandingan selanjutnya dipastikan bahwa lagu tersebut akan dinyanyikan oleh suporter tuan rumah. Hanya nama klub atau suporter yang diganti.

Pernah mendengar lagu "yooo ayooo, ayooo ............, kuingin kita harus menang.."? Lagu ini bahkan pernah ada di hampir seluruh stadion Indonesia. Termasuk lagu wajib saat timnas kita sedang bertanding. Konon lagu tersebut berasal dari salah satu pemain Arema, yang memberikan kumpulan chants suporter kepada Aremania pada era 90-an.



Saat siaran langsung televisi mulai banyak, bahkan menjangkau Papua yang dulu jarang disiarkan. Dari situ juga terlihat, bahwa beberapa suporter di stadion luar Jawa masih memakai lagu “stok lama”. Wajar memang karena kebanyakan away days lebih banyak dilakukan di pulau Jawa, terkait karena mudahnya akses dari stadion ke stadion lain, juga dana yang lebih murah ketimbang ke luar pulau.

Kesempatan tandang ke markas lawan memang dapat menjadi ajang bagi suporter untuk belajar. Sayangnya jika kita hanya berkeliling Indonesia, rasanya tidak akan jauh berbeda. 

Lain cerita jika menyebrang jauh ke negeri orang. Sepengetahuan saya pertandingan tandang yang dihadiri banyak suporter kita berangkat langsung dari Indonesia, hanya di Malaysia saat Piala AFF 2010 dan 2012.

Piala AFC misalnya, bisa menjadi kesempatan bagi suporter kita untuk mempelajari apa yang diperlihatkan para suporter tim tamu dari luar negeri.
Pada tahun 2007, saya pergi ke Solo untuk mendukung kesebelasan yang saya dukung, Persik Kediri, bertanding di AFC Champions League di Stadion Manahan kala itu. Ini menjadi salah pengalaman yang menyenangkan bagi saya. Urawa Reds yang bertanding melawan Persik didampingi oleh suporternya yang terbang langsung dari Jepang.

Untuk pertama kalinya saya melihat suporter menyamakan nada sebelum bertanding layaknya sebuah paduan suara. Entah pada saat itu sedang bercanda atau memang menjadi ritual wajib mereka, yang jelas puluhan suporter tersebut suaranya menyamai ribuan suporter tuan rumah.

Sulit dipercaya memang, tetapi pilihan lagu mereka saat itu juga bernada menghentak. Memungkinkan bersuara dalam satu nada dan terdengar sangat kencang. Peralatan yang dibawa juga sangat ramah untuk seseorang yang terbang ribuan kilometer. Bendera dan spanduk dari kain tipis hingga tongkat bendera dan set drum yang bisa dilipat.

Kekerabatan di Tribun

Away days bisa menjadi piknik yang memperat antar suporter. Menjemput suporter tamu di perbatasan daerah seringkali dilakukan hingga di depan pintu gerbang stadion. Hal yang sama saat pulang pasca-pertandingan.

Di dalam stadion kedua suporter saling lempar nyanyian. Beberapa juga melakukan ritual tukar atribut dan keliling bersama stadion saat jeda pertandingan. Tidak jarang ada yang bertukar kontak lawan jenis, mencari kesempatan dalam keriuhan.

Kondisi di atas hanya dapat terjadi pada dua kubu suporter yang mempunyai hubungan baik. Rivalitas yang berujung kerusuhan memang masih terjadi di kompetisi Indonesia. Wajar memang karena hampir di seluruh liga dunia, rivalitas seperti itu memang selalu ada.

Rivalitas yang ada juga terkadang membuat perjalanan para suporter menjadi terganggu. Suporter harus waspada saat berada di jalur tertentu ketika berada dalam bis atau kereta api. Dua roda transportasi primadona hampir seluruh suporter Indonesia. Beberapa juga nekat naik ke atap gerbong saat kereta sudah penuh sesak.

Bahkan ada sebutan “jalur Gaza” di kalangan suporter, untuk menamai tempat daerah rival mereka. Karena setiap melewati jalur tersebut tak jarang terjadi kerusuhan. Mulai dari lemparan – lemparan hingga bentrok fisik.

Perbaikan sarana dan prasana memang diharapkan mampu meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan saat away days. Jaminan keamanan yang memadai, transportasi yang baik, hingga akses stadion yang nyaman. 
AWAYDAYS


Sebuah pertandingan olahraga tentu saja tidak hanya berlangsung di kandang tim itu home dan away akan nampak lebih adil apalagi dengan sistem liga dan lain halnya itu terjadi di sebuah turnamen skala kecil maupun besar.
sendiri. Akan ada sistem yang menentukan di mana pertandingan itu berlangsung. Pertandingan
Sebagai pecinta klub kebanggaan pastinya tidak akan melewatkan satu pertandingan pun timnya berlaga. Biasa istilah itu kita sebut bertandang atau awaydays. Awaydays itu sendiri adalah sebuah langkah mendukung tim berlaga di luar kandang. Beberapa kelompok suporter beranggapan bahwa dengan awaydays untuk mengukur kecintaan klub. Secara tak langsung apa yang terjadi ketika away akan beda perlakuannya ketika bermain di kandang.
Di luar sana awaydays sudah menjadi budaya wajib bagi kelompok suporter terutama sepakbola. Sudah menjadi tradisi mengawal sang kebanggaan dimanpun ia bertanding. Tentu saja untuk merasakan atmosfir yang ada di kandang lawan. Tak jarang awaydays sering dianggap berbahaya tatkala bertemu dengan kesebelasan rival seteru abadi. Tentu saja ada pembatasan kouta karena antusias kedua suporter dengan pertandingan besar tersebut.
Pembatasan kouta yang terkadang membatasi semangat kubu tamu. Semuanya pasti sudah dipikirkan  pihak keamanan di sana demi menjaga clash sebelum atau sesudah pertandingan. Awaydays memang sudah menjadi bumbu wajib para suporter dengan banyak cerita pahit manis nya hingga beberapa penggiat seni drama banyak mengangkat topik tersebut untuk dijadikan tontonan berkelas para penggiat bola.
Di Indonesia sendiri budaya ini mulai muncul di tahun 1987. Lewat website emosijiwaku.com diceritakan bagaimana bonek mengawali tradisi baru di Indonesia kala itu. Mereka membanjiri senayan dan berangkat dengan biaya seadanya demi klub kebangaan. Sebuah kisah tentang sejarah suporter Indonesia.
Hingga era milenial ini budaya awaydays kian kental di Indonesia. Entah hanya menunjukan eksistensi dan gengsi mereka atau memang benar-benar tulus memaknai kultur tersebut. Ditambah transportasi yang memudahkan akses mereka membuat nyali awaydays kian membara. Resiko apapun yang akan terjadi nyatanya tak membuat antusias itu turun.
Mari kita satukan dengan budaya lokal yang sudah dari lama terlahir. Selayaknya bertamu, kubu tamu akan lebih santun memberikan kenangan berupa oleh-oleh khas daerah mereka. Secara simbolik saja langkah ini diyakini akan membawa persaudaraan antar suporter makin erat. Ibarat berkunjung ke keluarga dengan membawa buah tangan khas lokal sana. Bukankah kita semua diciptakan secara berkeluarga dengan persaudaraan yang kuat?
Sleman Fans pernah melakukannya dikala PSS berlaga menghadapi PSCS Cilacap pada gelaran final ISC-B 2016. Salak! Panganan khas sleman ini banyak ditemui di sepanjang perjalanan ke Jepara. Para sleman fans membagikan dari tol Semarang hingga warga Jepara itu sendiri. Seolah-olah membawa simbolik kedatangan mereka dengan rasa syukur tim nya berlaga hingga final. Satu kata dari penulis, indah!
Momen awaydays nyatanya membuat beberapa kelompok suporter nampak mawas diri. Benar saja hal itu tak jauh dari ungkapan sudah ngapain aja kalian dengan klub kebanggaanmu. Setelah era kelam sepakbola Indonesia menunjukan terang kembali, semua aspek berbenah, sepakbola indonesia mulai semarak kembali.
Cerita awaydays menjadi bagian penting dari peran suporter. Skala kecil maupun besar suporter tamu pasti nampak di laga sepakbola tanah air. Sisi positif dari perkembangan bola nasional. Sudut pandang lainnya, awaydays sangat menguntungkan apabila yang akan bertanding klub dengan basis suporter besar.
Stadion yang awalnya nampak biasa akan menjadi penuh sesak dengan 2 kubu yang berbeda. Pemain beradu skillnya sedang suporter beradu kreativitasnya. Sungguh akan membuat kalian merinding disaat isi stadion bergemuruh meriah. Tentu saja hal itu akan terwujud apabila tak ada lagi darah dalam dunia suporter Indonesia.
Nyanyian tanpa saling ejek dengan penuh nada persatuan itu yang diharapkan. Sejatinya suporter hanya beradu kreativitas bukan otot. Suporter besar karna klubnya, dan klub besar karna sepakbolanya, nada yang sering terucap oleh announcer di Sleman. Sudahilah saja saling tikam diluar 90 menit. Cerita awaydays akan lebih dikenang dengan hal santun yang dilakukan. Tak ada lagi yang hanya menunjukan seramnya atau eksistensinya. Sejatinya kultur luar yang dipakai hanya sebatas pergerakan baik, bukan buruknya. Semoga saja.